AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL

Oleh: Muhammad Ade Mufti Aji

Latar Belakang

Sosiologi agama merupakan suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. Seperti yang diketahui bahwa agama mengemban fungsi menumpuk persaudaraan. Kendati fungsi tersebut telah dibuktikan dengan fakta-fakta konkret dari zaman ke zaman di samping fakta positif terdapat pula fakta negatif, yaitu perpecahan antar manusia yang bersumber dari agama.perpecahan tidak akan terjadi jikalau tidak ada konflik.

Pada dasarnya agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, kerena bagaimanapun juga manusia membutuhkan kontrol diri dan pengawasan agama. Hadirnya agama sangat berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris dengan adanya keterbatasan kemampuan dan ketidak pastian dari manusia. Sesuai fungsinya, mengambil penjelasan Hendro Puspito, bahwa fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformative. Oleh karena itu, jika fungsi agama berjalan dengan baik, masyarakat dapat merasa aman, stabil, sejahtera dan sebagainya. Namun, karena agama yang dianut oleh manusia didunia ini tidak hanya satu, maka tentu saja klaim kebenaran masing-masing agama yang dianut oleh setiap orang akan muncul ke permukaan. Jika klaim itu dihadapkan pada penganut agama lain, maka sudah dapat diduga akan terjadi benturan anatar penganut agama, yang masing-masing memiliki klaim kebenaran.

Maka , makalah yang ada saat ini mencoba untuk mengungkap bagaimana seseorang mengeksperesikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain dengan tanpa ada benturan, atau paling tidak dapat meminimalisir terjadinya konflik antar umat beragama.

Pengertian Agama

Menurut Hendrapuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagai mereka dan masyarakat luas umumnya. Definisi lain disebutkan dalam kamus sosiologi, bahwa agama dapat diartikan keadaan tiga macan definisi, di antaranya:

  1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual.

  2. Perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri.

  3. Idiologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.

Sementara itu, Thomas F. O`die mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris. Dari definisi diatas, dapat tergambar jelas bahwa agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada diluar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra-natural sehingga diharapkan dapat mengatasi-masalah yang non-empiris.

Pengaruh Agama Terhadap Masyarakat

Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu untuk dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem social dan aspek kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia. Berkaitan dengan hal ini, Elizabeth K. Notthingham mengelompokkan tipe manusia dalam kehidupan masyarakat dan hubungannya dengan agama. Yaitu segabai berikut;

  1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakt ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasi dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral keadalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.

  2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi dari pada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung, agama hanya mendukung adat istiadat saja. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisien dalam menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.

Agama dan Konflik Sosial

Sepintas, tema diatas kelihatannya sangat paradox. Disatu sisi agama dipandang (oleh pemeluknya) sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Sebagaimana yang disinyalir oleh Jhon Efendi, menurutnya, agama pada suatu waktu memproklamirkan kedamiaan, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai suatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan takjarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan diantara kelompok dan kelas serta kecendrungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digaris bawahi adalah “ masyarakat “. Karena, masyarakat menjadi lahan untuk menumbuhkan dan memyubutkan konflik. Diantara faktor yang mempengaruhi kearah seperti itu bisa bermacam-macam, diantaranya, factor ekonomi, politik, social, bahkan agama. Oleh karena itu, pada sisi ini agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.
Apabila merujuk pada al-quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya factor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas Al-Qur’an menyebutkan:

ظهر الفساد فى البرّوالبحر بما كسبت ايدى لنّاس ليذيقهم بعض الّذي عملوا لعلّهم يرجعون ( الرّم :41 )

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(Ar-Rum: 41).

Ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya, untuk mengidentivikasi timbulnya konflik.

Penganut agama adalah orang yang meyakini dan meyakini suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik maupun buruk, yang dalam term islam disebut “amal perbuatan”. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik dan buruk. Keyakinan ini dimiliki dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama itu. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar intepretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuanya masing-masing.
Akibat perbedaan pemahaman itu saja, cikal bakal konflik tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian, pada sisi ini agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik (intoleransi). Paling tidak, konflik seperti ini adalah konflik intra- agama atau disebut juga konflilk antar madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan pemaham terhadap ajaran agama.

Dalam sejarah agama-agama, kekuatan agama di satu sisi dan kekuatan agama di sisi lain seringkali terjadi ketegangan dan saling berhadapan. Misi agama Ibrahim menghancurkan bangunan politik Raja Namrud yang establish. Dakwah Nabi Musa menenggelamkan Fir’aun (Ramses II) beserta pengikutnya ke dasar laut merah. Demikian juga kebangkitan Nabi Muhammad sebagai penutup nabi mengakhiri hegemoni politik kaum Quraisy. Bahkan pada akhirnya mampu menjadi negara “adikuasa” menggantikan dua super power di barat Imperium Romawi dan super power di Timur kerajaan Persia Raya.

Terjadinya kontradiksi antara dua kekuatan agama dan politik bisa jadi karena perbedaan misi dari keduanya. Agama membawa misi moral dan politik bertujuan mencari kekuasaan. Agama memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang universal, sedangkan politik boleh jadi mempolarisasi manusia berdasarkan kepantingan individu dan kelompok. Keduanya selalu berkompetisi menjadi yang terkuat, jika agama kuat maka politik menjadi kuda tunggangan dan sebaliknya. Fenomena ketegangan antar agama dan politik ini telah menjadi kenyataan di Eropa pada abad pertengahan, ketika gereja dianggap menjadi penghalang proses moderenisasi. Atas dasar ini cendekiawan barat umumnya begitu yakin bahwa persoalan politik dan moderenisasi harus dipisahkan dengan persoalan agama, yang kemudian populer dengan istilah sekularisasi.

Memperjuangkan agama dan politik seringkali membutuhkan korban. Dan pengorbanan. Risalah Nuh memakan korban tenggelamnya ribuan manusia dan binatang. Demikian pula kenabian Luth mendatangkan hujan batu bagi umatnya yang membangkang. Korban yang diakibatkan karena agama (atau diatasnamakan agama) nampaknya telah menjadi latent.

Sejarah mencatat terjadinya Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad antar Islam-Kristen. Perang saudar Hindu-Muslim di India, Perang Arab-Israel di Timur, kehancuran pengikut David Koresh di Texas Amerika Serikat, perang Muslim-Kristen di Bosnia Herzegovina, dan belakangan pecah di Ambon (antar Islam-Kristen). Perang agama telah menghancurkan peradaban yang sangat dahsyat. Demikian juga untuk kepentingan politik, seperti perang saudara Sparta-Athena, pembantaian massal yang dilakukan oleh Nazi, dan akibat kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara dunia ketiga. Kekejaman politik terjadi di Tian Nan Men yang menewaskan ribuan manusia, demikian pula ketegangan politik yang tak kunjung reda di Timur Tengah. Menurut pandangan Nicollo Machievelli, politik itu menghalalkan segala cara. Orang umum menyimpulkan bahwa politik itu indah tapi kotor, licik bagai belut, pisik tapi menarik, dapat dipegang tapi tidak dapat diduga. Dan masih banyak ungkapan lain yang bernada sumbang sebagai pembenaran kerajaan politik.

Sulit dibedakan apakah satu peperangan atau konflik sosial muncul karena faktor agama atau faktor politik. Sebab fenomena sosial sering bersifat kompleks dan multidimensional. Boleh jadi kepentingan ekonomi atau separatisme menunggangi agama. Misalnya, perang Iran-Iraq yang berlangsung selama 8 tahun, sebenarnya bukan perang Islam Sunni di Iraq dengan Islam Syi’i di Iran, melainkan kepentingan pihak ketiga yaitu Amerika. Demikian juga perang Arab-Israel, perang Vietnam dan sebagainya.

Uraian di atas memberikan pengertian bahwa apabila kemauan politik (political will)  bertentangan dengan ide moral agama, maka ketegangan/konflik sosial akan terjadi. Idealnya misi agama dan politik dalam suatu masyarakat bangsa harus bisa berjalan selaras, saling mengisi dan bukan saling menunggangi.

Kolonialisme di Indonesia, misalnya, mendapatkan perlawanan yang keras dari umat Islam, karena tidak saja menjajah secara fisik, material dan politis, tetapi juga menjajah ideologi Islam dan bahkan membawa Ideologi baru (Kristen) yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berkembang. Mungkin tidak demikian kejadiannya jika Belanda adalah bangsa Muslim. Atau sebaliknya, seandainya kedatangan para da’i dahulu juga menjajah secara politis, mungkin tidak akan terjadi mayoritas sebagai muslim seperti sekarang ini, dan agama Hindu atau Budha yang justru akan menjadi identitas bangsa Indonesia melawan penjajah.

Keberhasilan Islamisasi di Indonesia, salah satu faktor pendukungnya adalah justru penjajah Belanda. Gencarnya perlawanan kaum Muslimin terhadap Belanda yang dicap sebagai “bangsa kafir” mendorong Belanda untuk mengubah strategi pendekatan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari umat Islam. Tiga strategi yang diterapkan yang sekarang ini dirasakan pengaruhnya adalah; pertama, berusaha memisahkan urusan agama dengan politik, yang disebut dengan sekularisasi; kedua, berusaha memanfaatkan agama dan para tokohnya untuk mendukung dan sebagai justifikasi segala kebijakan yang ditempuh, ketiga, fungsi sebagai missionaris Kristen dilakukan secara samar dan persuasif.

Menjelang dan pasca kemerdekaan, ketegangan antar agama dan politik tetap berlanjut meskipun dalam bentuk dan motif yang berbeda. Ketegangan ini bermula dari kenyataan bahwa umat Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan porsi kekuasaan yang seimbang dengan perjuangan dan pengorbanannya, baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Kondisi berhadap-hadapan antara kekuasaan dengan agama di Indonesia ini terus berlangsung hingga pada dekade awal 90-an, ketika golongan Islam mulai masuk dalam lingkaran kekuasaan. Tetapi hal ini juga bukan jaminan terwujudnya stabilitas dan integrasi nasional. Sebab pada era Reformasi dan Demokratisasi sedang dibangun, ancaman stabilitas dan disintegrasi justru semakin berat. Hal ini ditandai oleh maraknya berbagai demonstrasi massa yang tidak dewasa, sehingga memicu timbulnya berbagai kerusakan dan kekerasan massa.

Cita-cita reformasi untuk mewujudkan masyarakat madani dan berkeadilan dan demokratis, agaknya masih jauh dari harapan. Diterpa oleh krisis yang berkepanjangan dalam berbagai aspek, membuat banyak kalangan hampir-hampir kehilangan pedoman dan kehabisan kesabaran. Kemelut politik dan keamanan di tanah air pasca Orde Baru belum mampu di atasi secara baik. Hal ini terbukti dengan masih sering munculnya berbagai gejolak sosial di beberapa daerah, berupa unjuk rasa dan bahkan meningkat menjani kerusuhan dan kekerasan. Ini semua menunjukkan bahwa ruwet masalah yang harus dihadapi.

Aksi-aksi kekerasan massa yang bermotifkan agama dan SARA menjadi tema dan model. Agama-agama memeang mengajarkan kepada umatnya kerukunan dan kedamaian hidup. Tetapi dalam implementasinya, keberagaman muncul dalam bentuk fanatisme sempit, ditambah dengan upaya-upaya politisasi agama yang marak pada era Multi partai sekarang ini. Dalam prespektif integrasi nasional, di samping faktor fanatisme agama tersebut, maka ada beberapa faktor yang dapat memicu lahirnya konflik dan kekerasan yang harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebud adalah:

Faktor pertama; adanya pertarungan amatir antar kekuatan untuk dapat masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat berbentuk Parpol, Ormas, dan LSM sertadapat bersifat perorangan, seperti para elite polotik, eliteorimordial yangdekat dengan kekuasaan, dan sebagainya. Pertarungan antar kekuatan inilah potensial terjadinya konflik massa.

Faktor kedua; media informasi yang bebas dan hampir-hampir out of control juga dapat medorong ke arah disintegrasi. Seringkali opini politik dibangun, didesain sedemikian rapi untuk sarana-sarana tertentu. Demikian juga pemberitaan yang kurang obyektif dan memihak akan turut mempengaruhi pendapat umum. Termasuk dalam hal ini adalah pemberitaan vulgar dan tidak selektif, akan membangkitkan semangat “meniru”.

Faktor ketiga; adanya intervensi pihak asing baik langsung maupun terselubung. Secara langsung kita melihat betapa kuatnya pengaruh IMF dan desakan negara-negara maju terhadap Indonesia. Umumnya pihak asing mempunyai misi mengarahkan Indonesia menjadi negara yang tak berdaya dan selalu tergantung kepada pemberian-pemberian yang tidak imbang, NGO dan infiltrasi yang bertujuan melakukan proses pembusukan dari dalam. Saat ini juga banyak LSM yang berpikir sepihak untuk mencari keuntungan ekonomi. Gejala lain yang terus harus diwaspadai adalah, mengalirnya barang haram, psikotropika (NARKOBA) yang turut memperkeruh dan merusak moral bangsa.

Faktor keempat; keresahan masyarakat lapis bawah yang merasa ditinggalkan oleh para elite politik yang dulu memberi janji-janji manis, setelah Pemilu usai mereka kecewa. Para elite politik dan pemimpin massa, kini sibuk mengurus kepentingannya sendiri atau kelompoknya.rakyat kecil merasa hanya diperalat dan digerakkan untuk memenangkan salah satu parpol saja, tanpa ada perubahan nasib yang signifikan. Contoh riil dalam hal ini, keprihatinan para petani dengan harga gabah yang anjlok, harga gula dan hasil-hasil pertanian lain yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak. Keadaan seperti ini bisa menimbulkan ari klimak dan frustasi yang mengancam kelangsungan hidup bangsa.

Faktor kelima; adanya fenomena budaya yang kontradiktif sedang terjadi, antara budaya feodalistik otoritarian pengikut status quo, dengan budaya demikratis yang sedang berkembang. Sebagian masyarakat masih menggambarkan massa lalu lebih baik daripada masa kini, atau masa depan. Mereka tidak sabar dan tidak tahan melihat perubahan-perubahan yang sedang terjadi saat ini, bahkan cenderung menolak dan menyalahkan apa yang terjadi. Karena mereka menganggap semua perubahan ini justru akan menuju kepada keadaan yang tidak tentu. Sementara itu masyarakat yang pro-reformasi, dan mendambakan lahirnya tata kehidupan yang demikritis, tetap sabar dan menyadari akan resiko-resiko dari perubahan sosial yangterjadi, dan yakin bahwa badai akan segera berlalu dan berganti dengansuasana yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan. Dalam masa transisi yang penuh dengan gejolak ini banyak petualang yag sedang brspekulasi untuk memancing di air keruh.

Faktor keenam; yakni proses pemiskinan dan tekanan ekonomi yang kian sulit pada masyarakat kelas bawah. Kondisi seperti ini sangat dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya revolusi sosial. Banyaknya penggunaan dan menurunnya pendapat masyarakat kecil, seperti petani, nelayan, buruh dan lain-lain akan melahirkan jurang kesenjangan yang semakin dalam dan memunculkan kecemburuan sosial.

Inilah beberapa faktor yang sewaktu-waktu dapat memicu lahirnya konflik yang bersifat “ideologis” dan ada konflik-konflik dan kekerasan, yang sangat bersifat “polits”. Tetapi kadang-kadang perbedaan keduanya sangat tipis. Pada tingkatan yang bersiifat ideologis, konflik tersebut muncul dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut dan telah menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Dalam hal ini konflik  arama termasukdalam konflik yang bersifat ideologis. Sedangkan pada tngkatan yang bersifat ideologis. Sedang pada tingkatan yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat.

Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental

Konflik sebagai fakta sosial melibatkan minimal dua pihak ( golongan) yang berbeda agama, bukannya sebagai konstruksi kayal ( konsepsional) melainkan sebagai fakta sejarah yang masih sering terjadi zaman sekarang. Dalam skala penilaian yang dibuat ( subyektif) nilai tertinggi selalu dijadikan kelompok patokan ( reference group) sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Bentuk bentrokan pada tingkat kongnitif- evaluatif dikenal sejak dulu dengan istilah “ apologia” dan apologetika”, menurut tingkat keilmiahannya. Apologetika adalah suatu bagian dari teologi yang membela dan mempertahankan kebenaran agama yang diiamaninya, terhadap serangan yang datang dari dalam maupun dari luar. Jika kita memakai metode antitesis, ciri konfrontatif dari apologetika tampak jelas, karena dalam metode ini ditonjolkan kekurangan dan kelemahan agama lain. Metode simpatetis lain lagi, tidak menunjukkan batas pendirian yang tegas, berbau kompromistis, mengatakan bahwa agama- agama itu sama saja, perbedaannya sedikit sekali. Metode lain adalah metode positive- tetis, menerangkan kebenaran dan pernyataan- pernyataan Allah yang terkandung dalam kitab Suci yang dipercayainya, tanpa menjelekkan agama lain dengan menyerang Kitab Suci mereka dan demikian tidak melukai hati orang lain.

Seyogyanya kepercayaan tidak dijadikan masalah yang dipertentangkan, karena di dunia ini tidak ada instansi perdamaian yang kompeten dan disepakati semua pihak yang sedang bertengkar untuk memberikan penyelesaian. Satu- satunya jalan yang dapat ditempuh ialah kembali kepada prinsip kebebasan memeluk agama yang disukai dan asas saling menghormati kepercayaan orang lain, selaras dengan piagam PBB tentang Deklarasi Hak- hak manusia tahun 1948. Umat Kristen dalam zaman Kaisar Nero, Decius dan Dioletianus menghadapi tantangan fisik yang berat dari kaisar dan rakyat. Kepercayaan baru ( Kristen) berbenturan hebat dengan kepercayaan lama Romawi. Kepercayaan akan Yesus sebagai Anak Allah ( Filius Dei) dan sebagai Tuhan dan Allah ( Dominus et Deus) bertentangan frontal dengan kepercayaan rakyat akan kedudukan kaisar di Roma dari masa ke masa dianggap dan disembah sebagai Anak Allah dan sebagai Tuhan dan Allah. Dalam konflik agama yang menimpa Katolik karena perbedaan iman dengan agama lain, sikap umat Katolik pada umumnya defensive, bukan ofendif. Mereka berpegang pada prinsip bahwa bukan yang menyerang itu menang, tetapi yang benar pasti menang. Dalam soal konflik iman umat Islam tampak berada dalam posisi lebih untung dipandang dari segi hokum agama, karena memperbilehkan jihad ( perang suci) apabila agama itu dirasa oleh umatnya dibahayakan oleh pihak lain. Masyarakat kita yang terkenal sebagai masyarakat beragama memang tidak dengan sendirinya menjadi masyarakat yang ideal, karena tidak ditempati penghuni- penghuni yang ideal, yang sering ada justru sikap- sikap mental yang negative, yang terjadi ketegangan, ketakutan dan kecemasan. Yang muncul adalah sikap intoleransi dan fanatisme. Sikap toleran ialah kesediaan untuk menerima orang lain seperti adanya sulit dilakukan, dan seoarng fanatikus akan dapat mengubah diri menjadi orang bijak ( prudens, sapiens) dan toleran pada saat ia dapat merelativir pendiriannya, melepas pendiriannya yang salah bahwa apa yang benar bagi saya adalah salah bagi orang lain, apa yang suci bagi saya adalah dosa bagi orang lain, dan lain sebagainya.

Perbedaan Suku dan Ras Umat Beragama

Ada sebuah asumsi terkenal dari Arthur de Gobineau, dalam karangannya yang menjadi klasik dan telah mengundang banyak sanggahan “ Essai sur I’ inegalite des races humaines, tahun 1853 – 1855, yang intinya menyatakan bahwa ras kulit putih merupakan ras tertinggi bangsa manusia, dan bahwa ras itu dipanggil untuk membawa obor kemajuan di dunia ini, dan bahwa ras yang bukan kulit putih ditakdirkan untuk tidak dapat menghasilkan sesuatu yang berarti dalam bidang kemajuan. Kesombongan rasial itu bertumbuh mencapai klimaksnya dalam pendirian bangsa Jerman bahwa bangsa itu merupakan “ manusia super” dan juga ilusi congkak itu telah diwujudkan oleh regim Hitler dalam pembunuhan kejam terhadap jutaan manusia dari suku bangsa Yahudi.

Ada ketegangan yang berabad- abad sudah berjalan anatara ras kulit putih yang beragama Kristen dan ras yang berwarna yang beragama non- Kristen, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan agama bersama- sama dengan perbedaan ras memperlebar jurang permusuhan yang sudah ada antara bangsa- bangsa yang bersangkutan. Kenyataan yang ada sangat memprihatinkan bahwa justru bangsa kulit putih yang sudah berabad- abad memeluk sekurang- kurangnya mengenal ajaran Kristen, khususnya yang tinggal di Amerika Utara dan Afrika Selatan masih menjalankan politik diskriminasi ras terhadap kulit hitam ( negro). Satu- satunya jalan yang dapat diharapkan adalah kesediaan yang baik untuk mulai dengan kebangkitan ( revolusi) etis atas dasar cita humanisme horizontal sebagai dasar minimal, dan bagi golongan kaum rasialis yang masih menerima ajaran Kristen diharap bersedia menegakkan kembali prinsip- prinsip kristiani sebagai kekuatan moral yang lebih tinggi.

Perbedaan Tingkat Kebudayaan

Tingkat kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebudayaan tinggi dan rendah. Tolok ukur untuk menilai dan membedakan kebudayaan dalam dua kategori itu berupa asumsi yang sudah umum, pertama akumulasi ilmu pengetahuan positif dan teknologis di satu pihak dan hasil pembangunan fisik di lain pihak dan kedua yaitu bahwa agama itu merupakan motor penting dalam usaha menusia menciptakan tangga- tengga kemajuan. Dari asumsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari masa lampau hingga saat ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban agama- agama yang dianut oleh bangsa- bangsa yang bersangkutan.

Kekhususan fungsi agama ialah bahwa agama menangkap dunia ini dalam pengertian- pengertian yang serba suci dan serba adikodrati dan dengan demikian memberikan arti yang lebih tinggi daripada arti sehari- hari. Bukan agama itu sendiri yang membangun dunia, tetapi manusia yang berinspirasi pada agama yang dipeluknya. Gambaran dunia dan masyarakat manusia yang lengkap dapat dipegang dan dilestarikan dalam 3 langkah yang disebut Berger:

  1. Eksternalisasi berarti pencurahan diri manusia terus menerus ke dalam dunia baik dalam kegiatan fisik maupun mental.

  2. Obyektivasi ialah hasil dari kegiatan fisik dan mental, yang kemudian nampak di hadapan pembuatnya sebagai faktisitas lahiriah yang lain dari keadaan aslinya.

  3. Internalisasi adalah pemikiran kembali realitas yang sama, mengubahnya sekali lagi dari struktur dunia obyektif ke struktur dunia kesadaran.

Bersama dengan Peter L. Berger dapat dikatakan bahwa agama telah ( dan masih) emmainkan peranan yang strategik dalam usaha manusia membangun dunianya. Agama merangkum jangkauan yang paling jauh dari eksternalisasi diri manusia, untuk mencurahkan dirinya dalam realitas sesuai dengan arti yang diberikan olehnya. Agama mengandung arti bahwa pranata manusia diproyeksi ke dalam totalitas yang ada, agama adalah usaha manusia yang berani untuk menangkap jagad raya sebagai sesuatu yang berarti bagi manusia.

Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama

Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab, namun dalam masyarakat agama pluralistis penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Dampak hubungan mayoritas- minoritas pada tingkat internasional kurang terasa daripada di tingkat nasional. Untuk Indonesia harus diakui bahwa agama sebagai sumber perselisihan secara prinsip sudah dibendung oleh Pancasila sebagai haluan Negara serta UUD 1945. Namun akibat dari kelemahan dan keterbatasan manusia pelaksanaan tidak selalu sesuai dengan prinsipnya. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam masalah ini:

  1. Agama diubah menjadi suatu ideology

  2. Prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya

  3. Mitos dari mayoritas

Melalui saluran hukum, golongan minoritas tidak dapat berbuat apa- apa, namun diluar hukum atau dalam tindak lawan hukum, golongan ini dapat berbuat sesuatu:

  1. Golongan minoritas yang menyadari dirinya sebagai kelompok sosial- religius yang lemah, dalam arti ekonomis, pendidikan ( ilmu pengetahuan), kebudayaan ( kesenian) demi keselamatan dan kelestarian kelompoknya beserta agamanya, mereka menjauhkan diri dari pengaruh mayoritas ke daerah yang terpencil.

  2. Golongan minoritas yang tidak menyadari dirinya sebagai kelompok yang kompak ( solider), hidup berjauhan, tersebar di tengah daerah mayoritas, mereka cenderung meleburkan diri dalam kelompok mayoritas di sekitarnya.

  3. Golongan minoritas agama yang memiliki kesadaran tinggi atas kedudukannya di masyarakat, mereka dapat membuktikan kehadirannya sebagai amat relevan bagi bangsa dan negara.

  4. Golongan minoritas yang berideologi marxis menurut catatan sejarah mencetuskan reaksinya terhadap mayoritas dengan cara tersendiri, antara lain dengan revolusi fisik, yang disertai dengan agitasi, adu domba, pembunuhan , dsb.

Sebagai alternatif dari ungkapan yang sering di dengar “ diktatur mayoritas” maka ungkapan “ teror minoritas” lebih tepat dikenakan pada golongan minoritas yang berhaluan kiri baik dari ideologi politik maupun dari keagamaan yang militan.

Kesimpulan

Dalam pengertian lain agama dapat di pahami sebagai ajaran dan aturan manusia yang harus di taati dalam kepercaan yang di anut, sehingga dapat menimbulkan kesetabilam antar umat. Akan tetapi berbagai bentuk perbedaan antar umat beragama yang melahirkan berbagai perpecahan dan peperangan akiabat dari konflik-konflik serta ideologi yang berbeda. Oleh karenanya untuk mewujudkan kesetabilan itu, di perlukan pemahaman dan kesadaran umat beragama dalam menjalani dan mentaati agama yang di anut.

Daftar Pustaka

– D. Hendropuspito, 1988. Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta.

– H. Dadang Kahmad, Cucu Cuanda, 2002. Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung.

– Dr. Nasikun, 1993. Sistem Sosial Indonesia, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.

– Tabba Sudirman, 1993. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, Tiara Wacana, Yogyakarta.


Tinggalkan komentar